Ramadhan 1446 H hari kesepuluh
(Majmu’ Fatwa, Ibnu Taimiyah)
Islam menjunjung tinggi dan memuliakan akal. Akal
memang dipersiapkan untuk menyucikan serta meninggikan derajat manusia. Dengan
akal yang sehat, dalam diri mereka akan tumbuh kebijakan. Inilah yang
menyebabkan akal menjadi salah satu faktor yang dapat digunakan untuk berfikir
lebih baik. Tidak ada yang terbaik. Yang ada hanyalah lebih baik. Ini sama
halnya dengan modern. Modern terikat dengan waktu. Modern saat ini, belum tentu
modern pada menit berikutnya.
Kata akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql
dari bentukan kata ‘aqala – ya’qilu – ‘aqalan, yang berarti faham atau
memahami, menghayati atau merenungkan. Secara umum, akal adalah potensi yang
dianugerahkan Allah kepada manusia untuk mendorong lahirnya budi pekerti atau
menghalangi seseorang melakukan keburukan.
Dalam al Qur’an, kata ya’qilun dan ta’qilun,
ditemukan sebanyak 22 dan 24 kali. Terulangnya kata akal dan aneka bentuk dalam
jumlah yang demikian banyak mengisyaratkan pentingnya peranan akal. Melalui
akal, lahirlah pemahaman untuk berlaku luhur. Akal juga digunakan untuk
memperhatikan dan menganalisa guna mengetahui rahasia-rahasia yang terpendam
untuk memperoleh kesimpulan.
Agar akal
dapat memiliki fungsi yang maksimal maka diperlukan pemandu atau pembimbing.
Dalam Islam, yang menjadi pemandu atau pembimbing akal adalah Al Qur’an dan
as-Sunnah. Tanpa adanya bimbingan dari Al Qur’an dan as-Sunnah.
Karena
akal harus dibimbing oleh al Qur’an dan as Sunnah, maka diperlukan adanya
naluri. Naluri manusia, adalah berbuat kebaikan, yaitu sejak dihembuskannya
kehidupan untuk yang pertama kalinya. Naluri atau insting adalah pola perilaku
dan reaksi terhadap suatu rangsangan tertentu yang tidak dipelajari, tetapi
telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh secara
turun-temurun.
Naluri
dapat juga dikatakan fitrah atau kodrat dari Allah swt. Sebagai contoh, naluri
keibuan atau kebapakan akan muncul dengan sendirinya. Secara naluri, seorang
ibu pasti memiliki kasih sayang dan ikatan batin dengan anaknya. Manusia secara
naluri akan menebarkan kasih sayang kepada lingkungan. Tidak merusak, tidak
berbuat semena-mena. Sehingga sangat pantas bila manusia dijuluki sebagai
khalifah.
Akal dan
naluri, harus diletakkan pada porsinya masing-masing. Orang yang berakal tapi
tidak memiliki naluri, maka yang muncul adalah perilaku kebinatangan. Demikian
juga, kalau naluri tidak bersentuhan dengan akal, maka dunia ini akan stagnan,
mandek, berhenti. Karena akal tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan.
0 komentar:
Posting Komentar