Ramadhan tahun 1446 H hari kedelapanbelas
Rasulullah saw, mempercepat
dua rokaat terakhir dari shalat zhuhurnya. Melihat kejadian ini, para sahabat
terheran-heran dan setelah selesai shalat, salah seorang bertanya:
“Apa yang terjadi dengan
shalat kita, wahai Rasul?”
“Memangnya ada apa?” tanya
Nabi
“Singkat sekali dua rakaat
terakhir”
“Apakah kalian tidak
mendengar tangisan anak-anak?”
Di lain waktu, beliau
memperpanjang sujudnya. Salah seorang bertanya :
“Kali ini sujud Anda
Panjang, tidak seperti biasanya, apakah Anda menerima wahyu?”
“Tidak, hanya saja putraku
menunggangi pundakku. Aku enggak bangun (dari sujud) sebelum ia puas”
Demikianlah dua dari sekian
banyak peristiwa sekaligus merupakan pengajaran Nabi Muhammad saw. menyangkut
cinta dan perhatiannya terhadap anak-anak.
Tidak jarang seorang anak
memiliki kedua orangtua, kaya dan mampu, tetapi, ia tetap membutuhkan
perlindungan dari ayah-bundanya. Ada orangtua, yang atas nama cinta,
mengerahkan anaknya untuk menjadi seperti dirinya, membebaninya dengan beban
yang tidak terjangkau oleh dunia anak-anak, bahkan bertentangan dengan bakat
dan kecenderungannya.
Bahkan ada orangtua yang
memperlakukan anaknya yang dewasa sekalipun seperti itu, mereka memaksa
pilihannya : sekolah, jodoh. Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-manar menulis : “Yang
demikian tidak direstui agama dan bukan bagian dari kewajiban menaati dan berbuat
baik kepada kedua orangtua.”
Anak bukanlah kelanjutan
sifat, profesi datau kepribadian ibu-bapaknya. Mencintainya adalah
menumbuhkembangkan bakat dan kepribadiannya karena cinta adalah hubungan mesra
antara dua pribadi dan dua “aku” yang berbeda. Dunia anak adalah dunia
permainan. Dengan bermain, ayah, ibu atau siapa pun dapat mendidiknya. Karena
itulah Rasulullah saw. menekankan pentingnya bermain bersama anak.
Disarikan dalam buku
Lentera Al Qur’an karya Prof. DR. M. Quraish Shihab
0 komentar:
Posting Komentar