PERTANYAAN
Bagaimana memahami Surat al Baqarah ayat 286 yang berbunyi "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya"
Namun, dalam realita
kehidupan, contohnya seperti ini: ada seseorang yang meninggal karena penyakit
kanker dan dia merasakan sakit hingga meninggal. Ada juga orang yang saking
stresnya sampai menjadi gila, tetapi dia tetap menerapkan iman dan dzikir. Di
kampung saya sendiri, ada seorang yang gila tapi tetap salat.
Apakah Allah menguji mereka
dengan sakit, tetapi mereka tidak tahan? Sementara dalam ayat tersebut Allah
berfirman bahwa Dia tidak menguji seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Kita kan tahu bahwa manusia diujinya sesuai dengan tahap
toleransi, kesabaran, dan kemampuan mereka masing-masing. Mohon penjelasannya,
Ustaz. Terima kasih.
Baik, saya langsung saja agar
tidak terputus dan agar feel-nya
dapat dirasakan. Saya ingin bercerita sedikit.
Pada suatu ketika, di awal saya
pulang ke Indonesia dan mengajar di Bekasi, saya diundang ke sebuah pengajian
khusus ibu-ibu perempuan yang diadakan setiap hari Kamis. Saat itu, berlangsung
kajian pertama yang penuh antusias. Namun, ketika kajian kedua, tiba-tiba salah
seorang ibu yang biasanya hadir tidak tampak.
Dari belakang, terdengar
seseorang mulai menangis. Saya bertanya, “Kenapa menangis?” Salah seorang ibu
menjawab, “Ustaz, si fulanah tidak bisa bersama kita hari ini karena sedang
berjuang melawan penyakit. Mohon doakan, Ustaz.”
Saya pun menjawab, “Baik, mari
kita doakan setelah kajian selesai.” Namun, tidak sampai lima menit kemudian,
suara isakan terdengar lagi. Saya bertanya lagi, “Ada apa, Bu?” Ibu itu
menjawab, “Ustaz, yang tadi kita doakan, sudah berpulang ke rahmatullah.”
Kami pun segera bertakziah. Anda
tahu apa yang terjadi? Almarhumah, yang dulunya seorang pramugari, memiliki
perjalanan hidup yang sangat luar biasa.
Sebagai pramugari, tentu beliau
banyak berkecimpung dalam dunia yang penuh tantangan untuk berhijab atau
terlibat dalam pergaulan yang berbeda. Namun, di ujung hidupnya, beliau memutuskan
berhenti dari pekerjaannya dan mengaktifkan sisa hidupnya untuk memperdalam
Islam.
Ketika pertama kali mengikuti
pengajian, tak lama setelah itu, beliau didiagnosis kanker. Sakitnya menjadi
alasan beliau untuk fokus mendekat kepada Allah. Kajian kedua yang sempat
diikuti menjadi kajian terakhir sebelum beliau harus dirawat di rumah sakit
hingga akhir hayatnya.
Saat kami takziah, yang hadir
adalah ibu-ibu dari pengajian, teman suaminya dari jamaah Subuh, serta
teman-teman lingkungan masjidnya. Teman seprofesinya hanya mengirimkan bunga
sebagai tanda belasungkawa.
Saya sampaikan dalam takziah
tersebut, “Subhanallah, ini adalah cara Allah memuliakan hamba-Nya. Sakit yang
beliau alami adalah bentuk isolasi dari kegiatan sebelumnya, agar beliau fokus
hanya menyebut nama Allah. Ketika Allah merasa cukup atas perubahan dan amal
baiknya, beliau dijemput dalam keadaan yang baik.”
Dosa-dosa beliau digugurkan,
pahala diberikan, dan beliau dimuliakan oleh Allah. Kepergiannya diantar oleh
orang-orang dari lingkungan ibadahnya.
Yang ingin saya sampaikan adalah,
apa pun yang Allah tetapkan kepada kita, seperti sakit, kanker, atau cobaan
lainnya, hakikatnya adalah ujian hidup.
Ujian hidup dan tujuan mengenal Allah
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah:
286)
Apa pun bentuk ujian, semuanya
memiliki rasa yang serupa: kesedihan, ketakutan, atau rasa kehilangan. Namun,
tujuan utama dari ujian hidup adalah agar kita mengenal Allah.
Semua yang kita alami, baik itu
kesenangan atau kesedihan, pada akhirnya adalah sarana untuk mengenal Tuhan.
Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan:
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, serta
pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berpikir.” (QS Ali Imran: 190)
Dalam hidup, kita bisa mengenal
Allah melalui rasa syukur atau sabar.
Contoh Nabi Ayub
Mari kita lihat kisah Nabi Ayub. Beliau diuji dengan kehilangan seluruh
kekayaan, wafatnya 12 anaknya dalam satu hari, hingga penyakit berat yang tidak
pernah dialami manusia sebelum dan sesudahnya.
Namun, dalam segala musibah itu,
Nabi Ayub tetap bersyukur dan sabar. Saat istrinya berkata, “Mengapa tidak
memohon kepada Allah untuk kesembuhan?” Nabi Ayub menjawab, “Berapa lama Allah
memberi kita kesehatan dan kekayaan? Jika dibandingkan dengan masa ujian ini,
aku malu meminta sebelum ujian ini selesai.”
Kisah ini disebutkan dalam
Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia berdoa kepada
Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkaulah Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang.’ Maka Kami kabulkan doanya…” (QS Al-Anbiya: 83–84)
Nabi Ayub memohon kesembuhan
bukan karena ingin sehat semata, tetapi agar dapat kembali beribadah dengan
sempurna kepada Allah. Ini adalah pelajaran bahwa ujian sakit atau sehat
hanyalah jalan untuk mendekat kepada Allah.
Jadi, apa pun kondisi kita, sehat
atau sakit, semuanya adalah titipan dari Allah. Yang terpenting adalah
bagaimana kita menjadikan setiap kondisi tersebut sebagai peluang ibadah untuk
mengenal dan mendekat kepada Allah.
Semoga kita dapat menghadapi
ujian hidup dengan rasa syukur dan sabar, sebagaimana yang dicontohkan oleh
para nabi dan orang-orang shalih. Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber berita: https://www.tabligh.id/2024/11/22/hikmah-ujian-hidup-menemukan-kedekatan-dengan-allah/