oleh : Suratiningsih
Cahaya lampu
menebar menerangi kamar. Malam ini aku masih sibuk menyelesaikan tugas-tugas
sekolah sampai larut malam. Aku anak SMK jurusan Teknik. Dilahirkan di tengah
keluarga sederhana. Ayahku seorang tukang kayu dan ibu adalah ibu rumahtangga.
Ibu selalu setia mendampinggi ayah.
Kondisi
perekonomian keluarga yang sulit membuat aku harus ikut bekerja membantu ayah
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai seorang pemuda usia belasan tahun aku
tak memiliki banyak waktu untuk bersenang-senang, bermain-main, seperti
pemuda-pemuda lain di kampung. Menjelang sore banyak teman sebaya menghabiskan
waktu nongkrong di pinggir jalan, asyik ngobrol menghabiskan waktu di
angkringan, menikmati secangkir kopi, bersendau gurau dengan pemuda yang lain.
Sepulang sekolah, saat mentari mulai
menggelincirkan tubuh ke barat. Aku masih membantu pekerjaan ayahku. Sampailah
menjelang adzan Maghrib berkumandang. Ayahku mendidik disiplin menunaikan
shalat berjama’ah di masjid. Kami sekeluarga bergegas mempersiapkan diri.
Selepas shalat Maghrib, anak-anak kampung menghampiriku. Seperti hari-hari
biasanya mereka ingin belajar iqra’ bersamaku.
“Kak Budi,” suara Alif memanggilku. Sekarang ngaji
lagi kan, Kak?
Aku mengangguk,
memberikan isyarat malam ini mengaji lagi. Anak-anak berjajar rapi membentuk
lingkaran menunggu kehadiranku di majelis kecil ini. Mereka juga berasal dari
keluarga tak mampu, tapi memiliki semangat juang tinggi untuk belajar bersama.
“Alhamdulillah…adik-adik
pintar, sholeh, sholihah semuanya. Tadi kakak perhatikan saat adik-adik
menunaikan shalat Maghrib tidak ada yang bercanda. Wah kalian hebat…terima
kasih ya,” kataku sebelum memulai kegiatan ini.
“Mari…kita buka dengan berdo’a bersama-sama.”
Anak-anak
kecil itu berdo’a besama-sama.
“Kita
lanjutkan hafalan kita dulu ya…”
“Kemarin kita sampai surat An Naba’? Sekarang kita
lanjutkan An Naziat.”
“Adik-adik ada
yang sudah hafal?”
“Tapi aku
belum hafal semuanya Kak…Baru hafal 15 ayat,” sahut Syahrul.
“Lah…itu bagus Dik Syahrul. Ayo…kita coba hafalkan
bersama-sama.”
Lantunan
Qur’an surat An Naziat mulai terdengar, menghiasi masjid kita ini.
Kami lalui
rutinitas bada’ shalat Maghrib bersama adik-adik.
Sesekali kusisipkan kata-kata motivasi agar kami
beristiqomah untuk tetap mengaji. Nabi bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah
orang yang belajar dan mengajarkan Al Qur’an.”
“Dimanapun
adik-adik berada jangan pernah tinggalkan Al Qur’an.”
“Iya, Kak,”
adik-adik menjawab dengan semangatnya.
Di penghujung semester, saatnya aku menempuh ujian
akhir. Alhamdulillah nilai-nilaiku sempurna, sangat memuaskan bagi orang
kampung sepertiku.
Tibalah
saatnya aku lulus dari SMK. Malam semakin larut. Hujan di luar sana sangat
deras. Tetesan air hujan sesekali menembus atap kamarku. Pandanganku ke atas
menatap genting retak yang berhasil ditembus air hujan. Aku lihat jam dinding
tepat pukul 22.00. Biasanya di malam-malam seperti ini aku masih disibukkan
dengan tugas-tugas sekolah. Tapi malamini tak ada lagi tugas sekolah. Aku terus
berpikir, apa yang harus aku lakukan selanjutnya. Untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi rasanya tak mungkin. Aku tak mau menambah beban ayahku.
Di ruang
tengah, beralaskan anyaman daun pandan, ayah dan ibu duduk melepaskan lelah.
Aku menghampiri, minta izin untuk merantau mengadu nasib di Bontang. Rasanya
ibu keberatan aku kerja di sana seperti teman-teman sekelas.
“Ayah, Ibu…Budi ingin bekerja di Bontang.
Teman-teman sekelas juga merantau kesana.”
“Siapa tau
kalau Budi bekerja disana bisa membantu Ayah, Ibu. Hidup kita bisa
berkecukupan.”
Aku melihat
wajah ibu sedih. Tak seperti biasanya. Ibu yang selalu mendukung dan memberi
semangat, hanya terdiam menatapku. Sesekali ibu melemparkan pandangannya kearah
ayah.
“Budi…begini
saja.” Kata Ayah memulai pembicaraan, mencairkan suasana yang sedikit beku dan
kaku.
“Kamu coba
mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Nanti untuk biaya pendaftaran Ayah akan
mengusahakan. Jika diterima, kamu bisa kuliah sambil bekerja.”
“Ilmu itu
sangat penting Bud…Dengan berbekal ilmu kamu bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Selagi kamu masih muda manfaatkan waktu dan kesempatan yang ada. Jangan pernah
kamu sia-siakan begitu saja.”
Aku mengangguk
dengan kepalaku tertunduk”.
Pagi menjelang
siang aku berencana ke rumah Ahmad. Kami teman satu kelas, Ahmad berencana
pergi ke Bontang bersama teman-teman. Ahmad dan keluarganya menyambutku dengan
ramah. Secangkir kopi hangat dan kacang rebus menemani obrolan kami.
Sesaat lagi
adzan Dhuhur berkumandang. Aku bergegas minta izin pulang. Langkahku terhenti
saat adzan berkumandang. Aku menuju masjid untuk bergabung melaksanakan shalat
jama’ah.
Usai shalat
aku bertemu Pak tua pedagang kerupuk. Kami asyik bercerita. beliau menceritakan
bahwa anak-anaknya bisa kuliah diperguruan tinggi. Aku semakin tertegun mendengarkan
cerita itu. Kemudian aku bertanya penghasilan beliau dalam penjualan krupuknya.
Dalam pikirku, tak masuk akal dengan penghasilan segitu bapak ini bisa
mencukupi kebutuhan keluarganya dan membiayai kuliah anak-anaknya.
Bapak tua itu
tersenyum ramah. Beliau berpesan bermainlah ke rumahnya jika ada waktu. Beliau
memberikan alamat rumah.
“Bapak mau
melanjutkan jualan. Sudah ya anak muda.” Setelah mengucapkan salam Pak Tua itu
berlalu dari hadapanku.
Aku membantu
Ayahku memasah kayu. Pesanan pintu dari seorang saudagar di kampung sebelah.
Aku masih penasaran dengan pertemuanku dengan Pak Tua di depan masjid tempo
hari. Kok bisa ya…rasa penasaran semakin membelenggu.
Akhirnya
selepas aku mendaftarkan diri di satu universitas di Yogyakarta aku putuskan mampir
ke rumah Pak Tua. Di rumah kayu itu terlihat beberapa anak-anak muda sibuk
membuat sepatu kulit. Selain berjualan bapak tua dan keluarganya itu
memproduksi sepatu kulit.
Sesekali aku
bertanya tentang proses pembuatan sepatu. Pandanganku tertuju pada sepatu warna
hitam yang tersusun rapi di rak pajangan.
“Pak, sepatu
ini harganya berapa?” tanyaku.
“Oh...itu
harganya seratus ribu, Nak?”
Aku mencoba
membuka dompet. Ah ada uang seratus ribu. Kebetulan aku tak punya sepatu.
Sepatuku yang dulu sudah robek-robek. Tak apalah aku beli.
“Pak saya
ambil sepatu yang ini, ya?”
Hari ini aku
lihat pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Namaku tertulis di urutan pertama.
Aku bergegas memberikan kabar ini kepada kedua orangtuaku. Ucapan
syukur…memulai langkah kakiku di salah satu universitas Yogya.
“Bud…sepatumu
bagus,” kata Alif memandangi sepatu yang kupakai.
“Kamu suka,
Lif?”
“Iya…Keren.”
“Ya sudah
kalau kamu mau …kamu pakai saja.”
“Bagaimana
kalau aku ganti saja, Bud? Kamu belinya berapa?”
“Ini aku beli
seratus ribu.”
“Trus aku
harus ganti berapa nih?”
“Ah sudah Lif,
sama dengan aku beli saja.”
Selang
berganti hari, Alif menghampiriku.
“Bud...Budiiii….”
Ia berlari-lari kecil menyusulku. Langkahku terhenti di lorong menuju
ruang kuliah.
“Ada apa, Lif?
Pagi-pagi kok sudah lari-lari seperti ada yang penting saja.”
Alif
tersenyum. Kami seiring sejalan sambil berbincang.
“Begini lho,
Bu. Omku kemarin ke rumahku, eh…dia tertarik dengan sepatu kulit yang kubeli
darimu. Kira-kira bisa tidak aku minta tolong untuk memesankan sepatu kulit
lagi?”
“Oh…begitu.
Ya…sudah, insya Allah setelah aku selesaikan pekerjaanku membantu ayah aku
pesankan ya.”
Terik matahari
menembus kulitku. Hari ini panas sekali. Tenggorokan terasa kering,
memanggil-manggilku untuk segera mengalirkan air putih agar bisa menghilangkan
rasa haus dan dahaga. Langkahku terhenti, mencari tempat duduk untuk sekadar
melepas sedikit lelah. Aku ambil botol minum yang tersedia di tas ranselku.
Ah…lega rasanya.
Aku lanjutkan
perjalanan menuju Halte Trans Jogya. Tak begitu lama menunggu, angkutan umum
warna hijau berpadu kuning itu datang menghampiri penumpang yang sudah
menunggu.
Dari kejauhan
aku lihat ayahku masih sibuk menyelesaikan beberapa pesanan pintu dan jendela
kayu. Aku langkahkan kakiku lebih cepat agar bisa segera membantunya. Begitulah
aktivitas sepulang kuliah. Sesekali jika pekerjaan ayah bisa aku tinggalkan,
aku mencari lowongan pekerjaan dengan bekal ijazah SMK.
Dari surat
lamaran yang aku ajukan ke beberapa perusahaan, belum ada satu pun kabar
berita. Tapi tak apalah aku harus terus mencoba. Aku niatkan di hatiku ini sebagai
ikhtiar. Aku tidak tahu selepas semester satu dari mana bisa mendapatkan uang
untuk membayar biaya kuliah. Rasa khawatir akan biaya kuliah terus
menghantuiku.
Di hari libur
kuliah aku sempatkan pergi ke rumah kayu, dimana Pak Tua dan keluarganya memproduksi
sepatu kulit. Aku sudah berjanji kepada Alif untuk memesankan sepatu kulit. Pak
Tua dan keluarganya menyambut dengan ramah. Aku ceritakan tujuanku berkunjung.
Pak Tua tersenyum dan mengajakku di ruang produksi sepatu kulit. Aku mengambil
sepasang sepatu kulit seperti yang dipesan Alif. Dengan ragu-ragu aku bilang
kepada Pak Tua.
“Pak maaf…saya
belum punya uang untuk membayar sepatu ini.”
“Sepatu ini
pesanan dari teman saya apakah saya diizinkan untuk membawanya? Nanti jika
teman saya sudah bayar, baru saya bayarkan kepada Bapak.”
“Baiklah,
Nak…Boleh, silakan sepatunya dibawa dulu.” Pak Tua segera membungkus sepatu itu
dan menyerahkan kepadaku.
Ucapan
terimakasihku kepada Pak Tua sebelum aku berpamitan. Hatiku sangat bahagia. Aku
kayuh sepedaku menuju rumah Alif. Aku lihat Alif dan keluarganya duduk
bersantai di teras. Dengan senyum girang aku hampiri Alif. Ia bergegas berlari
memendekatiku.
“Hai…gimana,
Bud? Sepatunya sudah ada?”
Sambil
tersenyum aku ulurkan bungkusan plastik kresek hitam.
“Bud…ayo masuk
rumah dulu, kebetulan omku ada di dalam.”
Alif
mengajakku masuk ke ruang tamu, mempertemukanku dengan omnya.
“Silakan
duduk, Bud.”
Aku duduk di
sofa segi empat yang memenuhi ruang tamu. Suasana begitu nyaman. Alif masuk ke
dalam memanggil omnya.
“Om...perkenalkan
ini Budi temanku, yang membelikan sepatu kulitku kemarin.”
“Oh...iya…Bagaimana
pesanan sepatu untuk om sudah ada kah?”
“Sudah Om.”
Alif mengulurkan bungkusan sepatu kulit itu.
Om duduk
disebelahku. Membuka bungkusan itu dan mencobanya.
“Wah pas
sekali ini, Bud. Berapa harganya?”
Setelah aku
menjawab seratis ribu, ia mengambilkan uang dari dompetnya.
“Ini Bud,”
kata om sambil mengulurkan dua lembaran uang kertas kepadaku.
“Oh…seratus
ribu saja, om.”
“Lho kamu
kesini naik apa?”
“Naik sepeda,
om.”
“Ini yang
sepuluh ribu untuk ongkos naik sepeda.”
Budi
tersenyum.
“Ah...tidak
usah om, saya sudah terbiasa naik sepeda kok.”
“Tidak apa-apa,
Bud.” Om menyelipkan uang seratus sepuluh ribu rupiah di kantong bajuku.
Dengan rasa
bahagia aku kayuh sepedaku lebih kencang dari biasanya. Aku laju sepedaku
menuju rumah kayu, memenuhi janjiku kepada Pak Tua. Sepanjang perjalanan aku
berpikir, “Wah hanya sebentar saja aku jualkan sepatu kulit itu aku mendapatkan
uang sepuluh ribu rupiah. Bagaimana jika bisa menjualkan sepatu lebih banyak
lagi ya. Aku bisa mengumpulkan uang untuk biaya kuliahku di semester depan.”
Sepeda
berhenti di depan rumah kayu. Aku menghampiri Pak Tua.
“Pak…Alhamdulillah,
hari ini teman saya sudah membayar sepatu itu. Ini saya bayarkan.”
Dengan
tersenyum Pak Tua menerima uang lembaran seratus ribu. Di teras depan rumah
kayu kami berbincang. Aku ceritakan niatku untuk ikut menjualkan sepatu kulit.
“Jika saya
mengambil lebih dari satu sepasang sepatu, saya harus DP berapa persen?”
“Ambil saja
semampumu, Nak. Jika sepatu yang kau bawa sudah laku, baru kamu bayarkan kepada
Bapak.”
Hatiku sangat
girang menerima kebaikan hati Pak Tua. Aku ambil tiga pasang untuk aku jual.
Selepas jam
kuliah, aku berjalan menuju gang-gang kecil di kota untuk menawarkan sepatu.
Dari rumah kerumah. Hari pertama tak seorang pun membeli sepatu kulit itu. Aku
tidak putus asa. Setiap hari sepulang kuliah aku terus mencoba menawarkan
sepatu kulit.
Dihari ketiga
ada ibu-ibu yang membelikan sepatu kulit untuk suaminya. Hatiku sangat senang.
Aku lanjutkan perjalanan menawarkan sepatu kulitku sambil tetap mengingat-ingat
materi kuliahku. Saat adzan berkumandang aku bergegas ke masjid. Disitulah
selepas shalat aku baca-baca lagi materi kuliah sambil bersandar di tiang
masjid yang menyejukkan hati.
Sepatu kulit
habis terjual aku kembali ke rumah kayu untuk bertemu dengan Pak Tua. Senang
rasanya bisa menyetorkan semua hasil penjualan. Selain itu, mendapatkan
keuntungan tiga puluh ribu rupiah.
“Nak…ini bonus
untuk untuk hasil penjualan mu.” Pak Tua memberikan uang kepadaku enam puluh
ribu rupiah untuk tiga sepatu.
“Ah…tidak,
Pak. Saya sudah mengambil keuntungan dari penjalan sepatu itu?”
“Tidak
apa-apa, terima saja ini adalah rezekimu.”
Hatiku semakin
berbunga-bunga. Aku mendapatkan keuntungan ditambah bonus dari Pak Tua. Aku
semakin bersemangat menjadi sales sepatu kulit. Sepulang kuliah aku berkeliling
dari rumah ke rumah menawarkan sepatu.
Pada suatu
ketika ada ibu-ibu pesan.
“Mas…jualan
kain batik Yogya?”
“Oh… iya Bu
insya Allah saya carikan.”
Aku coba
mencari kain batik di Pasar Bringharjo Yogyakarta. Disana aku temukan kios
penjualan kain batik. Aku bilang pada pemiliknya jika aku mencari kain batik
untuk dijual kembali. Pemilik kios bilang pembelian harus cash. Kalau begitu
aku ambil dua dulu saja, karena uang tidak cukup.
Aku kembali ke
rumah ibu yang pesan kain batik. Alhamdulillah dua lembar kain batik dia beli
semua. Lega rasanya. Aku berusaha memuaskan pelanggan-pelanggan.
Sampailah aku
di semester tiga. Aku bersyukur selalu ada rezeki yang Allah titipkan kepadaku
untuk biaya kuliah. Dari hasil penjualan sepatu kulit, bisa menopang biaya
kuliah. Di semester tiga matakuliah kewirausahaan mengubah pola pikirku. Dosen
kewirausahaan mengadakan workshop digital marketing. Disinilah aku belajar
pemasaran secara oneline. Melalui media-media sosial. Matakuliah ini sangat
membantu dalam mengembangkan potensi diri.
Dosenku bilang
jika ada mahasiswa yang sudah memiliki usaha beliau berjanji akan memberikan
nilai A plus. Dengan mudah aku bisa mendapatkan nilai sempurna. Saat dosenku
memintaku untuk menyusun business plan, dengan mudah aku mempresentasikan di
depan teman-temanku. Aku ceritakan suka duka menjadi sales sepatu kulit.
Penjualan sepatu kulit semakin meningkat. Omset jutaan rupiah sudah biasa aku
lampaui.
Aku tetap
memegang komitmen untuk tetap belajar dan bekerja seperti pesan Ayah, agar bisa
bermanfaat bagi sesama. Bukan hanya memikirkan diri sendiri. Aktivitasku yang
padat membuatku tak sempat berpikir untuk bermai-main menghabiskan waktu
seperti teman-teman.
Sampai akirnya
aku diwisuda jenjang S1 dengan predikat cumlaud. Aku bersyukur bisa
membahagiakan Ayah Ibu, melihatku dengan toga wisuda di auditorium kampus
tercinta. Dengan nilai-nilaiku yang nyaris sempurna aku mendapatka beasiswa
melanjutkan studi jenjang S2.
Rasa bahagia
semakin kurasakan di hari wisuda. Mendapat kesempatan mejanjutkan studi S2
dengan beasiwa full studi membuat aku semakin bersyukur. Iya betul, bahwa
rencana Allah lebih indah dari rencana kita. Allah memberikan segalanya agar
hidup kita lebih bermakna. Aku mahasiswa tercepat, terbaik, dan cumlaud membuat
orangtua semakin bersyukur. Aku tahu betul bahwa semua ini tak lepas dari do’a
ibu dan ayah yang rajin bangun di sepertiga malam untuk melangitkan do’a-doanya
Menjadi
mahasiswa S2 aku jalani dengan lebih semangat lagi. Apalagi ini adalah amanah
beasiwa yang harus dipertanggungjawabkan. Aku semakin bertekad suatu saat nanti
harus bisa memberikan banyak manfaat bagi banyak orang. Studi S2 berjalan
lancar.
Selesai S2 aku
diminta menjadi dosen di salah satu universitas di Yogyakarta. Menjadi dosen
adalah panggilan jiwa agar bisa terus berdiskusi, memotivasi, menginspirasi
anak-anak muda untuk memiliki semangat juang tinggi.
Aku bahagia
banyak mahasiswa tertarik dengan cara mengajarku. Karena prestasiku di kampus
aku mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S3.
“Ayah Ibu, aku
tuntaskan harapan dan do’a mu untuk terus berdo’a, belajar, bekerja, dan terus
menuntut ilmu,” kataku dalam hati.
Penulis
tinggal di Jatirejo, Sendangadi, Mlati, Sleman,Yogyakarta