Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar, menegaskan
bahwa pembuatan kalender Hijriah global tunggal bukan hanya memungkinkan,
tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam di seluruh dunia. Hal
tersebut ia sampaikan dalam seminar internasional dan peluncuran Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT)
yang diselenggarakan Muhammadiyah di Convention Hall Masjid Wahidah Dahlan,
Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta.
“Sebagian orang bertanya:
mungkinkah menyatukan awal bulan Qamariyah di seluruh dunia? Jawabannya: tentu
saja mungkin,” tegas Prof. Syamsul. Ia mencontohkan, kalender Masehi digunakan
seragam di seluruh dunia, mengapa kalender Hijriah tidak bisa demikian?
Prof. Syamsul menjelaskan, sejak
masa awal, umat Islam sudah memiliki kalender sendiri, namun bentuknya masih
sederhana, yakni kalender numerik—bulan ganjil ditetapkan 29 hari, bulan genap
30 hari. Sistem ini, meski berguna, tidak mencerminkan realitas astronomis yang
sebenarnya, karena tidak mempertimbangkan peredaran bulan.
“Salah satu kelemahannya, Ramadan
selalu ditetapkan 30 hari, padahal dalam kenyataannya bisa 29 atau 30 hari,”
jelasnya.
Kalender numerik ini bertahan
hingga abad ke-19. Memasuki abad ke-20, umat Islam mulai mencari sistem
kalender yang lebih akurat secara ilmiah, namun belum berhasil menemukan format
global yang bisa diterapkan secara seragam. Baru pada tahun 2016, sebuah titik
temu mulai tampak.
Dalam konferensi internasional di
Istanbul pada 2016, delegasi dari lebih dari 50 negara menyepakati perlunya
kalender Hijriah global berbasis hisab (perhitungan astronomis). Konferensi tersebut
menyatukan visi para ahli falak dan pemimpin keagamaan dari berbagai negara
untuk membentuk sistem penanggalan yang ilmiah dan seragam.
“Jadi, kalender ini bukan ide baru.
Ia kelanjutan dari tradisi Islam dalam mengatur waktu yang kini disempurnakan
dengan metode modern,” ujar Prof. Syamsul.
Menjawab pertanyaan apakah
Al-Qur’an atau Sunnah secara eksplisit memerintahkan penggunaan hisab, Prof. Syamsul menjawab:
tidak. Namun, secara metodologis, Al-Qur’an dan hadits memberikan arah yang
mendukung pendekatan ilmiah dalam penetapan waktu.
“Sebagai contoh, Allah berfirman: Umat ini adalah umat yang satu.
Maka wajar jika kita memiliki sistem kalender yang juga satu,” katanya.
Selain itu, ia mengutip ayat: Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai
Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini
menegaskan sifat universal Islam yang menuntut sistem ibadah yang seragam dan
inklusif, termasuk dalam hal penanggalan.
Menurut Prof. Syamsul, usulan
penggunaan kalender lokal atau regional hanya akan memperbesar perbedaan.
Kalender seperti itu tidak bisa disebut kalender karena gagal menyatukan waktu
secara sistemik dan global.
Kalender Islam, menurutnya, harus
memenuhi tiga syarat utama, yaitu mencerminkan keutuhan ajaran Islam, bersifat universal dan didasarkan pada metode ilmiah yang
disepakati, yakni hisab falak modern.
“Kita tidak perlu membangun
sistem baru. Dunia Islam telah sepakat sejak 2016. Tugas kita hari ini adalah
menerapkannya secara konsisten,” pungkasnya.
Prof. Syamsul mengakhiri
sambutannya dengan ajakan untuk tidak lagi memperdebatkan dasar kalender
Hijriah, melainkan fokus pada implementasinya. Ia juga menyampaikan permohonan
maaf jika ada penjelasannya yang kurang dipahami karena keterbatasan bahasa.
“Kalender Hijriah global adalah
simbol kesatuan, bukan sekadar alat penanda waktu,” ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar