oleh : Ahmad Syafii Maarif
Pada saat tersiar berita bahwa saya dan teman-teman
dari lintas agama mau bertemu dengan Presiden Bush pada 22 Oktober 2003 di
Bali, dalam masyarakat telah terjadi polarisasi penilaian. Ada yang menuduh
bahwa kami akan menjadi corong Bush, tetapi ada pula yang menilainya positif.
Jawaban
saya waktu itu adalah: "Mana yang lebih kesatria, berhadapan langsung
dengan musuh atau mengepalkan tinju dari balik gunung?" Setelah apa yang
kami sampaikan yang kemudian disiarkan media massa, barulah kelompok yang
skeptik paham bahwa kami yang memilih opsi pertama berada di jalan yang benar.
Pada waktu saya bacakan pernyataan yang sudah disiapkan, Bush mendengar dengan
baik, sekalipun menghantam politik imperialistiknya.
Bagi
saya pertemuan semacam itu penting, sebab kita punya kesempatan emas untuk
menyampaikan apa yang terasa secara sopan tetapi tajam. Tidak seperti cara-cara
sementara pihak yang menyerbu suatu tempat yang mereka nilai
"berbahaya" bagi Islam seperti yang mereka pahami. Ada pula fatwa MUI
yang dijadikan dasar. Cara semacam ini adalah cara preman yang berjubah, jauh
dari sifat seorang ksatria. Kelompok inilah yang saya kategorikan sebagai
mereka yang berani mati, tetapi tidak berani hidup, karena mereka tidak punya
sesuatu, kecuali kekerasan, untuk ditawarkan bagi kepentingan kemanusiaan.
Di
otak belakang mereka sudah lama menggebu syahwat ingin berkuasa melalui cara-cara
yang tidak beradab dan antidemokrasi. Mereka tidak segan-segan
"membajak" Tuhan untuk meraih kekuasaan itu di balik dalil-dalil
agama yang digunakan. Dan tidak jarang mereka dengan mudah dijadikan mangsa
oleh pihak tertentu dengan diberi upah materi. Cara-cara almarhum Ali Moertopo
menjinakkan bekas-bekas anggota DI adalah di antara contoh yang masih segar
dalam ingatan kita. Cara itu pasti berulang, apalagi masyarakat kita sekarang
sangat labil karena serba ketidakpastian menghadang masa depan.
Sudah
berapa kali saya lontarkan bahwa ujung sekularisme dan fundamentalisme hampir
setali tiga uang. Sekularisme mengusir Tuhan dari lingkungan manusia karena dianggap
sudah mati, sebagaimana Nietzsche pernah mengatakan, sementara fundamentalisme
membajak Tuhan untuk kepentingan kekuasaan. Bedanya, sekularisme memberhalakan
manusia dalam mencapai tujuannya yang serba duniawi, fundamentalisme berlindung
di belakang jargon-jargon religius untuk membunuh peradaban. Rezim Taliban di
Afghanistan adalah contoh yang dekat dengan masa kita yang ingin memutar jarum
jam ke belakang. Mereka ingin membangun sebuah dunia cita-cita yang akal sehat
tidak dapat memahaminya. Perempuan misalnya tidak perlu sekolah dan harus
tinggal di rumah.
Kesalahan
fatal Amerika dan sekutunya adalah melakukan invasi ke negeri ini, sebuah
tindakan biadab yang berlawanan dengan hukum internasional dan prinsip-prinsip
demokrasi. Tindakan serupa juga kemudian dilakukan di Irak dengan dalih adanya
senjata pemusnah massal, tetapi ternyata bohong belaka. Bahwa, Saddam Hussein
kejam terhadap lawan-lawan politiknya, sudah diketahui umum. Tetapi, apa hak
negara lain untuk menghukumnya? Doktrin pre-emptive strike (pukul dulu)
berlawanan secara diametral dengan etika dan hukum internasional. Tetapi, etika
dan hukum itu sudah tidak diabaikan oleh negara-negara kuat tetapi mengklaim
sebagai benteng demokrasi. Sebuah kebohongan publik mereka bungkus dengan
cara-cara manis, tetapi penuh bisa yang mematikan.
Konstelasi
politik global sekarang memang sangat pelik dan melelahkan, sementara dunia
Islam seperti tidak mengerti apa yang harus dikerjakan. Suasana serba tidak
menentu ini menjadi salah satu sebab mengapa kekuatan-kekuatan radikal mendapat
lahan subur untuk melancarkan aksinya, apakah itu melalui teror, dan tidak
jarang pula berlindung di balik dalil-dalil agama. Pesan Alquran sebagai rahmat
bagi alam semesta telah lama dicampakkan entah ke mana. Tragis memang. Tetapi,
inilah realitas getir yang harus dihadapi dengan sabar tetapi cerdas, sambil bekerja
keras mencari solusi.
Kemanusiaan tidak akan bisa tahan lama berada dalam lingkungan global yang serba hipokrit ini. Oleh sebab itu, kita yang masih siuman tidak boleh kehilangan perspektif dalam keadaan yang bagaimanapun. Akal sehat jangan dibiarkan mati dengan meniru cara-cara radikal dan senang dengan serba kekerasan yang risikonya hanya tunggal: menghancurkan peradaban dan diri sendiri, lambat atau cepat. Ya Allah, tunjukilah kami jalan-Mu yang benar dan lurus, jalan yang Engkau ridhai, bukan jalan yang Engkau benci, dan bukan pula jalan yang sesat. Tanpa petunjuk-Mu ya Allah, kami tentu akan bertualang tanpa arah, tidak tahu lagi ke mana langkah ini harus diayunkan. Amin!