Pertama, Muhammadiyah beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan. Jadi Muhammadiyah ini kemanapun harus membawa damai dan menciptakan damai. Juga kesejahteraan, membawa masyarakat sejahtera. Yaitu masyarakat dapat menikmati hidupnya, mendapatkan ma’isyah rizki yang baik tapi juga membawa kemanfaatan. Jadi dimana-mana warga Muhammadiyah juga harus peduli pada peningkatan kesejahteraan.
Kedua, Muhammadiyah ini organisasi yang memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah islamiyah. Jadi satu musuh saja sudah sesak dunia ini. “Maka jangan senang punya banyak musuh. Biarpun berbeda paham di internal umat islam, di kubu bangsa, kita harus tetap mengamalkan ukhuwah islamiyah dan meminimalisasi lawan, inilah kepribadian Muhammadiyah,” tegas Haedar.
Ketiga, Muhammadiyah termasuk para pimpinan, kader, anggota itu harus tetap lapang dada. Lapang dada yang dimaksud itu lapang hati. Jika ada yang mencerca jangan emosi, kalau ada yang menanamkan hal yang tidak baik kita harus memberi teladan. Luas pandangan dengan tetap memegang teguh ajaran islam. Artinya lapang hati dan luas pandangan harus tetap dalam koridor islam, tetapi pemahaman keislamannya juga harus diperluas.
Keempat, Muhammadiyah ini organisasi agama yang bersifat keagamaan dan kemasyarakatan. “Ada cerita tentang kepribadian Muhammadiyah kenapa ’62 lahir, karena saat itu Muhammadiyah beririsan dengan partai politik Masyumi. Lalu setelah Masyumi dibubarkan ada persoalan dimana Muhammadiyah ini ikut terbawa konflik politik dan orang-orang yang ada di parpol saat itu kembali ke Muhammadiyah dengan cara politik dan mengurus Muhammadiyah dengan cara parpol. Maka lahirlah kepribadian ini untuk menegaskan bahwa kita ini bersifat keagamaan dan kemasyarakatan, tetapi kita menghargai perjuangan politik. supaya kita tetap jadi partisan, misalkan besok pemilu 2024, boleh ada kecenderungan memilih dan memang harus memilih, yang berdasarkan kemaslahatan umum dan menjaga kedaulatan,” papar Haedar.
Kelima, mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah. Jadi Muhammadiyah tidak boleh anti hukum, apalagi sampai alergi terhadap falsafah. “Kalau ada peraturan dsb yang kita pandang ada yang tidak sejalan dengan kepentingan umat, rakyat, bangsa, kita beri masukan dan koreksi agar ketentuan itu sejalan. Bahkan dalam Pancasila kita sudah punya konsep darul ‘ahdi wa syahadah, jadi jangan terbawa arus,” kata Haedar.
Keenam, amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik. Amar ma’ruf nahi munkar itu jangan tersirat sendiri-sendiri. Amar ma’ruf nahi munkar itu bentuk dari dakwah.
Ketujuh, aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud Islam. Maka kita harus ishlah menciptakan perdamaian dan pembangunan islam. Itulah karakter Muhammadiyah.
Kedelapan, kerja sama dengan golongan islam manapun dan juga usaha menyiarkan dan mengamalkan Islam serta membela kepentingannya. Jadi kita harus berukhuwah islamiyah. Memang kita ada perbedaan mazhab, pandangan, jangan sampai kita bermusuhan. Namun kita juga berharap orang lain terhadap kita juga bertasamuh. “Misalnya perbedaan puasa, Idulfitri, Iduladha, jangan sampai perbedaan itu membuat ramai dan bertengkar. Untuk itu Muhammadiyah mengusulkan kalender hijriyah Internasional agar hari itu pasti,” pesannya.
Kesembilan, membantu pemerintah serta bekerja sama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah. Jadi jika kita ikut terlibat dalam pembangunan negara itu memang kepribadian Muhammadiyah sejak zaman KH. Ahmad Dahlan bahkan. “Jadi semisal pemilu yang dipilih tidak jadi, kita harus konstitusional, harus kita hormati dan sebagai PP Muhammadiyah harus tetap berkomunikasi membantu dengan pemerintah dan bekerja sama dengan golongan lain. Tentu kita tetap kritik, memberi masukan, Muhammadiyah kan punya prinsip itu,” terangnya.
Kesepuluh, bersifat adil dan korektif di dalam dan keluar dengan bijaksana. “Muhammadiyah kan membuka ruang untuk kritik baik ke dalam bagi tubuh kita termasuk di amal usaha kita, harus ada kritik, karena dengan kritik akan ada perbaikan, tetapi bagi yang mengkritik juga harus dengan argumen, berdasarkan data, jangan menghujat dan juga ada usaha memberi solusi. Tapi juga harus adil, proporsional, ada tempatnya,” pungkasnya.