Surat Pak AR pada Paus Yohannes Paulus II diungkapkan oleh Sukriyanto AR—anak Pak AR—dalam buku Biografi Pak AR yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, Mei 2017.
Surat berjudul Sugeng Rawuh, Sugeng Kondur (Selamat Datang, Selamat Jalan) itu ditulis Pak AR Fachruddin dengan menggunakan bahasa Jawa halus, kromo inggil. Tujuannya untuk menghormati Sri Paus.
Menurut Pak AR—seperti ditulis Sukriyanto—Sri Paus itu pemimpin umat Katolik seluruh dunia, termasuk orang Jawa. Mestinya beliau juga mengerti bahasa Jawa, karena pasti ada stafnya yang mengerti bahasa Jawa dan bisa menjelaskan isi surat itu.
Surat berukuran 13×15 cm setebal 12 halaman yang dicetak 2000 eksemplar itu diberi gambar Pak AR dan Sri Paus. Pak AR meminta Sukriyanto mengantarkan surat itu ke Akademi Kateketik di Jalan Ahmad Jazuli. Juga ke koran Kedaulatan Rakyat dan Bernas. Surat juga disebarkan pada warga Katolik.
Mengapa Pak AR—yang saat itu sedang dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta—berusah payah menulis surat kepada Sri Paus?
Ternyata Pak AR mendengar kabar, pemimpin umat Katolik sedunia—Sri Paus Yohannes Paulus II dari Vatikan—akan berkunjung ke Indonesia pada tanggal 9-14 Oktober 1989, sebagai tamu negara. Dia juga direncanakan mampir ke Yogyakarta.
Bagi Pak AR itu menjadi kesempatan emas untuk mengangkat isu kerukunan beragama di Indonesia yang pelaksanaannya tidak benar. Oleh karena itu, meski sedang beristirahat di rumah sakit, Pak AR tetap melakukan dakwah: memikirkan dan membela umat.
Saat itu, kaum Nasrani gencar melakukan pengkristenan dengan memanfaatkan kemiskinanan umat Islam. Di Yogyakarta misalnya, ada pasangan suami-istri tuna netra yang kesulitan membayar biaya bersalin ratusan ribu rupiah di RS Bethesda, Yogyakarta.
Tapi akhirnya biayanya dibebaskan pihak rumah sakit, dengan syarat pasangan ini harus berpindah agama. Padahal, tulis Sukriyanto, seandainya laki-laki itu datang ke rumah Pak AR tentu akan dicarikan jalan.
Menurut Pak AR, cara-cara pengkristenan seperti itu tidak etis, juga tidak dibenarkan. Karena itu dia menulis surat ke Sri Paus dengan segala risikonya.
Bermacam Tanggapan atas Surat Pak AR
Setelah surat itu beredar, Pak AR menerima berbagai tanggapan. Ada tiga surat kaleng diterima Pak AR. “Mereka berkata macam-macam, tetapi hal itu didiamkan saja (oleh Pak AR). Ada pula media cetak yang menanggapi positif seperti Media Dakwah, Salafi, dan Salam,” tulis Sukriyanto.
Pak AR juga sempat ditelepon Korem, menanyakan apakah benar yang menulis surat itu Pak AR dan apa maksudnya.
Pak AR menjawab, jika dia sedang dirawat di RS Gatot Subroto Jakarta atas saran Pak Harto. Lalu dia membenarkan telah menulis surat itu. Menurut Pak AR, tidak ada maksud apa-apa, kecuali menjelaskan bahwa penduduk Indonesia sudah beragama Islam walaupun masih awam dan kebanyakan mereka ini miskin.
Karena itu tidak selayaknya dimurtadkan dengan memberi mi instan atau yang lain. Menurut Pak AR hal itu perlu disampaikan agar Sri Paus bisa memahami dan mengendalikan umatnya guna menjaga kerukunan beragama. Akhirnya, semuanya beres. Tetapi, di luar tersebar berita Pak AR ditangkap Korem.
Menurut Sukriyanto, ada juga orang Katolik yang mengatakan bahwa AR itu orangnya baik, tetapi kok menulis surat yang demikian. Mereka ada yang mengatakan bahwa Pak AR ditahan. Lalu mereka mengadakan misa agar tidak terjadi apa-apa.
Sri Paus sendiri tidak memberi respon, mungkin karena tidak tahu apa isi surat itu, atau apakah surat itu disampaikan kepada beliau atau tidak?
Tapi beberapa waktu setelah Sri Paus pulang ke Vatikan, Pak AR mendengar kabar dari orang Tionghoa Timur, bahwa Sri Paus berterima kasih atas surat Pak AR itu.
Isi Surat Pak AR
Sukriyanto menulis, dalam surat itu Pak AR terlebih dahulu mengenalkan dirinya tentang keluarga, identitasnya sebagai seorang Muslim, serta kesaksiannya bahwa tidak ada suatu pun yang patut disembah kecuali hanya Allah. Demikian juga kesaksian bahwa Muhammad itu Rasulullah.
Pak AR juga menyebutkan dirinya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Indonesia tahun 1968-1990. Rumah tempat tinggal di Jalan Cik Di Tiro 23 Yogyakarta.
Pak AR menjelaskan, umat Islam Indonesia itu terhimpun dalam berbagai organisasi keislaman. Ada yang di Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al Irsyad, Perti, Sarekat Islam, Washliyah, Persatuan Islam, Mathlaul Anwar, atau Persatuan Umat Islam Indonesia.
Sementara dalam organisasi politik umat Islam Indonesia ada yang berhimpun di golongan Partai Persatuan Pembangunan atau di Partai Demokrasi Indonesia.
Pak AR juga menulis, walaupun Paus Yohannes Paulus II telah mengetahui bahwa sejak dijajah oleh bangsa Belanda yang beragama Krister Protestan, bangsa Indonesia telah menjadi pemeluk agama Islam, agamanya Allah dan jumlah pemeluk Islam 90 persen selama penjajahan Belanda.
Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri dan pejabat negara disebutkan beragama Islam yang mendapat kepercayaan juga dari orang-orang yang beragama bukan Islam yaitu dari orang-orang Katholik atau Kristen.
Paus Yohannes Paulus II supaya mengetahui adanya tatanan yang dibuat Pemerintah Indonesia yang disebut tiga kerukunan. Pertama, kerukunan antarsatu agama, artinya kerukunan Muslim dengan Muslim, kerukunan pemeluk agama Kristen atau Katolik satu dengan lainnya. Juga kerukunan pemeluk agama Budha dan Hindhu satu dengan lainnya.
Kedua, kerukunan antarumat beragama. Artinya umat yang beragama Islam harus dapat rukun dengan umat yang beragama Kristen, Katolik, Budha dan Hindu dan sebaliknya.
Semuanya itu merupakan tatanan di dalam pergaulan, dalam kehidupan bersama. Namun masalah yang menyangkut agama, tidak dapat dicampuradukkan.
Ketiga, kerukunan antarumat beragama dengan Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Menipu Orang Miskin
Sukriyanto menulis, di samping hal-hal di atas, disampaikan juga oleh Pak AR masalah bagi umat Islam Indonesia yang terasa agak mengganjal.
Yang dirasakan mengganjal oleh Islam Indonesia adalah di kalangan penduduk yang masih tergolong miskin, oleh umat yang beragama Kristen dan Katolik dimanfaatkan sebagai kesempatan di tengah kesempitan yang tengah dihadapi Muslim dan Muslimat.
Umat Muslim dan Muslimat yang tengah dirundung kemiskinan itu diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibuatkan rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal berdagang. Namun dengan keinginan agar mereka nantinya menjadi umat Katolik atau umat Kristen.
Ada pula pemuda Muslim yang telah berumah tangga dengan pemudi Muslimah, sengaja disekolahkan di luar negeri. Setelah pulang kedua-duanya sudah bukan Muslim dan Muslimah lagi. Kenyataan semacam itu benar-benar merupakan ganjalan bagi umat Islam, karena masih banyak lagi cara-cara yang dilakukan untuk pemindahan agama umat Islam.
Dalam hal ini Pak AR berkata, “Kok tega-teganya menyebarkan agama dengan cara-cara yang tidak perwira. Kok dengan cara ‘menipu’. Mereka yang melarat dibujuk dengan harta. Kelihatannya menolong dan tampaknya mencukupi kebutuhan hidupnya, tetapi kenyataannya membujuk agar berpindah agama. Ini kan bukan sikap perwira.
Tidak Ada Paksaan Beragama
Untuk mengarahkan permasalahan itu, Pak AR mengajak kepada Paus Yohannes Paulus II dan umat Katolik dan Kristen, untuk mengetahui dan memahami firman Allah dalam al-Quran, yang artinya “Tidak ada paksaan di dalam masalah agama.”
Apa yang diuraikan tersebut menimbulkan perasaan yang mengganjal di kalangan umat Islam Indonesia, dan bukanlah masalah kristenisasi, karena dikatakan bahwa insyaallah umat Islam Indonesia agamanya, agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selanjutnya, Pak AR berkata kepada Paus Yohannes Paulus II bahwa sesungguhnya Pemerintah Indonesia sudah mengingatkan bahwa cara-cara yang tidak kesatria itu seyogyanya ditinggalkan.
Akan tetapi teman-teman yang beragama Katolik dan Kristen tidak mengindahkannya. “Bapak Paus pribadi, tentunya tidak menyetujui dengan cara-cara yang tidak ksatria tersebut,” kata Pak AR.
Selanjutnya, Pak AR berharap agar kehadiran Paus Yohannes Paulus II bermanfaat untuk umat Katholik dan Kristen, serta umat Islam Indonesia. (*)
Editor Mohamamd Nurfatoni