Oleh: Deni Asyari
108th
silam di kampung kecil Kauman Yogyakarta, seorang tokoh bernama H Fachrodin
bersama sahabatnya KH Ahmad Dahlan, berinisiasi menghadirkan sebuah media
pencerahan, yang diberi nama Soewara Moehammadiyah [ejaan lama].
Kala
itu, tepatnya tanggal 13 Agustus 1915 masyarakat Indonesia masih gagap dengan
tulis baca. Ilmu pengetahuan masih jauh dari tradisi kehidupan, bahkan beragama
pun cenderung fanatis dan penuh dengan tradisi singkretisme.
Dengan
visi yang jauh ke depan, kedua tokoh Muhammadiyah ini memberanikan diri
mengambil strategi dakwah melalui media, walaupun sementara tradisi masyarakat
pada saat itu tidak mendukung.
Memang
kalau dicerna dengan jangkauan visi yang pendek, apa yang dilakukan oleh kedua
tokoh Muhammadiyah ini, tidaklah masuk akal. Bagaimana mungkin menerbitkan
sebuah media baca di tengah masyarakat yang buta huruf dan gagap dalam tulis
baca.
Tapi
disinilah kekuatan visi sang tokoh Muhammadiyah. Bukan mereka tidak tahu,
tentang lemahnya budaya budaya tulis baca masyarakat kala itu, tetapi kedua
tokoh Muhammadiyah ini sadar, bahwa dengan hadirnya media pencerahan ini, akan
menginspirasi terjadinya perubahan tradisi masyarakat, dari yang tidak bisa
baca tulis menjadi gemar baca tulis, dari yang tidak berilmu, menjadi gemar
menuntut ilmu.
Seperti
sebuah kisah, seorang pemuda yang akan mendirikan pabrik sendal di sebuah
wilayah tertentu. Dimana tradisi masyarakat di wilayah tersebut masih
tradisional dengan kebiasaan tidak menggunakan sendal dalam beraktivitas.
Tetapi seorang pemuda ini, tetap berikhtiar mendirikan pabrik sendal di wilayah
tersebut.
Banyak
orang menilai pilihan seorang pemuda yang membuka pabrik sendal ini adalah
pilihan yang keliru. Sebab bagaimana mungkin ia bisa menghasilkan bisnis yang
baik, sementara pasar yang ada tidak sesuai dan berlawanan dengan produk
bisnisnya.
Tapi
1 tahun kemudian, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Bahwa dengan hadirnya
pabrik sendal yang didirikan oleh seorang pemuda ini, akhirnya dapat mengubah
tradisi masyarakat yang sebelum tidak menggunakan sendal, pada akhirnya
sekarang memiliki tradisi dan budaya baru dengan menggunakan sendal. Dan pabrik
sendal ini pun konon kemudian berkembang pesat di berbagai daerah lainnya.
Inilah
kekuatan sebuah visi yang berjangka panjang. Sama halnya dengan kedua tokoh
Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan & H Fachrodin saat awal mula mendirikan
majalah Soewara Moehammadiyah. Dengan visi jangka panjang, media yang
diterbitkan ditengah zaman gelap gulita itu, pada akhirnya bisa mengubah dan
menginspirasi. Dari masyarakat yang tak berilmu menjadi masyarakat yang
gandrung akan pengetahuan, dari masyarakat yang fanatik, menjadi masyarakat
yang rasional dalam beragama.
Sejarah
awal Soewara Moehammadiyah sebagai media inspiratif, telah mendorong banyak
gagasan-gagasan baru dan berkemajuan dari setiap lembar edisi yang
diterbitkannya. Tidak hanya soal agama dan ilmu pengetahuan. Bahkan soal
bermu’amalah, berdagang, relasi sosial bahkan soal Kebangsaan atau
nasionalisme.
Sebut
saja misalnya soal nasionalisme, jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya edisi
1925, Majalah Soewara Moehammadiyah telah mendorong kesadaran batas-batas
teritorial Hindia Belanda kepada masyarakat. Bahkan pada edisi 1924, majalah
Soewara Moehammadiyah telah memperkenalkan istilah Indonesia kepada pembacanya
dan warga Hindia Belanda.
Tentu
masih banyak goresan sejarah inspiratif yang telah dihadirkan melalui majalah
Soewara Moehammadiyah. Hingga dalam 5 tahun belakangan ini, berbagai organisasi
swasta dan pemerintah secara bergiliran mempersembahkan penghargaan atas
kerja-kerja literasi Soewara Moehammadiyah.
SM
& Abad II
Dan
kini tak terasa, media yang tumbuh di era keterbelakangan itu, dimana kata dan
teriakan merdeka masih jauh dari genggaman tangan, ternyata masih eksis dan
terus hadir menyapa masyakat Indonesia. Bahkan pada tanggal 13 Agustus 2023
ini, media yang didirikan oleh H Fachrodin dan KH Ahmad Dahlan tersebut,
berusia 108 tahun.
Sementara
dalam waktu bersamaan, kita sudah tidak menyaksikan lagi terbitan media-media
lainnya yang hidup sezaman dengan Soewara Moehammadiyah. Sebut saja misalnya
majalah al Munir, majalah Kiblat, Panji Masyarakat, Umat dan lain sebagainya?
Semuanya hilang seiring dengan perkembangan zaman
Kini
kita patut bersyukur, karena hanya Soewara Moehammadiyah satu-satunya media
yang sezaman dengannya yang masih eksis dan terbit berkesinambungan hingga hari
ini
Dan
memasuki abad ke II ini, visi sebagai media inspiratif terus menjelma dalam
denyut nadi gerak Soewara Moehammadiyah. Dikala gempuran era disrupsi dan
revolusi teknologi yang begitu canggih, Soewara Moehammadiyah tetap mampu
berselancar di tengah gelombang ombak yang tak henti-hentinya menghempas.
Kini,
ia tidak hanya hadir sebagai media inspiratif dan pusat syiar pengetahuan bagi
umat, tetapi Soewara Moehammadiyah menjelma dengan mentransformasikan dirinya
sebagai pusat bisnis dalam wujud gerak dakwah dibidang ekonomi.
Memasuki
awal abad Ke II, berbagai lini bisnis tumbuh dari rahim Soewara Moehammadiyah.
Mulai dari bisnis penerbitan majalah & buku, Media Digital, batik,
konveksi, ekspedisi, retail, property hingga ke perhotelan.
Visi
jangka panjang pendirinya, dengan membangun fondasi Soewara Moehammadiyah
sebagai media inspiratif, telah mengantarkan media ini tetap eksis dan memberi
kiprah nyata bagi negeri ini. Semoga melalui Milad ke 108th ini, yang
bertepatan dengan Milad atau 78th kemerdekaan Republik Indonesia, Soewara
Moehammadiyah terus tanpa lelah mengembangkan peran dan kiprahnya, untuk
menjadi sarana dakwah membangun kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa.
Selamat
Milad 108th
Suara Muhammadiyah
Teruslah Menginspirasi, Teruslah Menyinari Negeri
Deni
Asy’ari, MA, Dt Marajo, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/ SM
Sumber
tulisan: https://web.suaramuhammadiyah.id/2023/08/13/108th-menginspirasi/