Sabtu, 13 Juli 2024

Published Juli 13, 2024 by with 0 comment

108 Tahun Menginspirasi

 



Oleh: Deni Asyari

108th silam di kampung kecil Kauman Yogyakarta, seorang tokoh bernama H Fachrodin bersama sahabatnya KH Ahmad Dahlan, berinisiasi menghadirkan sebuah media pencerahan, yang diberi nama Soewara Moehammadiyah [ejaan lama].

Kala itu, tepatnya tanggal 13 Agustus 1915 masyarakat Indonesia masih gagap dengan tulis baca. Ilmu pengetahuan masih jauh dari tradisi kehidupan, bahkan beragama pun cenderung fanatis dan penuh dengan tradisi singkretisme.

Dengan visi yang jauh ke depan, kedua tokoh Muhammadiyah ini memberanikan diri mengambil strategi dakwah melalui media, walaupun sementara tradisi masyarakat pada saat itu tidak mendukung.

Memang kalau dicerna dengan jangkauan visi yang pendek, apa yang dilakukan oleh kedua tokoh Muhammadiyah ini, tidaklah masuk akal. Bagaimana mungkin menerbitkan sebuah media baca di tengah masyarakat yang buta huruf dan gagap dalam tulis baca.

Tapi disinilah kekuatan visi sang tokoh Muhammadiyah. Bukan mereka tidak tahu, tentang lemahnya budaya budaya tulis baca masyarakat kala itu, tetapi kedua tokoh Muhammadiyah ini sadar, bahwa dengan hadirnya media pencerahan ini, akan menginspirasi terjadinya perubahan tradisi masyarakat, dari yang tidak bisa baca tulis menjadi gemar baca tulis, dari yang tidak berilmu, menjadi gemar menuntut ilmu.

Seperti sebuah kisah, seorang pemuda yang akan mendirikan pabrik sendal di sebuah wilayah tertentu. Dimana tradisi masyarakat di wilayah tersebut masih tradisional dengan kebiasaan tidak menggunakan sendal dalam beraktivitas. Tetapi seorang pemuda ini, tetap berikhtiar mendirikan pabrik sendal di wilayah tersebut.

Banyak orang menilai pilihan seorang pemuda yang membuka pabrik sendal ini adalah pilihan yang keliru. Sebab bagaimana mungkin ia bisa menghasilkan bisnis yang baik, sementara pasar yang ada tidak sesuai dan berlawanan dengan produk bisnisnya.

Tapi 1 tahun kemudian, justru yang terjadi adalah sebaliknya. Bahwa dengan hadirnya pabrik sendal yang didirikan oleh seorang pemuda ini, akhirnya dapat mengubah tradisi masyarakat yang sebelum tidak menggunakan sendal, pada akhirnya sekarang memiliki tradisi dan budaya baru dengan menggunakan sendal. Dan pabrik sendal ini pun konon kemudian berkembang pesat di berbagai daerah lainnya.

Inilah kekuatan sebuah visi yang berjangka panjang. Sama halnya dengan kedua tokoh Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan & H Fachrodin saat awal mula mendirikan majalah Soewara Moehammadiyah. Dengan visi jangka panjang, media yang diterbitkan ditengah zaman gelap gulita itu, pada akhirnya bisa mengubah dan menginspirasi. Dari masyarakat yang tak berilmu menjadi masyarakat yang gandrung akan pengetahuan, dari masyarakat yang fanatik, menjadi masyarakat yang rasional dalam beragama.

Sejarah awal Soewara Moehammadiyah sebagai media inspiratif, telah mendorong banyak gagasan-gagasan baru dan berkemajuan dari setiap lembar edisi yang diterbitkannya. Tidak hanya soal agama dan ilmu pengetahuan. Bahkan soal bermu’amalah, berdagang, relasi sosial bahkan soal Kebangsaan atau nasionalisme.

Sebut saja misalnya soal nasionalisme, jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya edisi 1925, Majalah Soewara Moehammadiyah telah mendorong kesadaran batas-batas teritorial Hindia Belanda kepada masyarakat. Bahkan pada edisi 1924, majalah Soewara Moehammadiyah telah memperkenalkan istilah Indonesia kepada pembacanya dan warga Hindia Belanda.

Tentu masih banyak goresan sejarah inspiratif yang telah dihadirkan melalui majalah Soewara Moehammadiyah. Hingga dalam 5 tahun belakangan ini, berbagai organisasi swasta dan pemerintah secara bergiliran mempersembahkan penghargaan atas kerja-kerja literasi Soewara Moehammadiyah.

SM & Abad II

Dan kini tak terasa, media yang tumbuh di era keterbelakangan itu, dimana kata dan teriakan merdeka masih jauh dari genggaman tangan, ternyata masih eksis dan terus hadir menyapa masyakat Indonesia. Bahkan pada tanggal 13 Agustus 2023 ini, media yang didirikan oleh H Fachrodin dan KH Ahmad Dahlan tersebut, berusia 108 tahun.

Sementara dalam waktu bersamaan, kita sudah tidak menyaksikan lagi terbitan media-media lainnya yang hidup sezaman dengan Soewara Moehammadiyah. Sebut saja misalnya majalah al Munir, majalah Kiblat, Panji Masyarakat, Umat dan lain sebagainya? Semuanya hilang seiring dengan perkembangan zaman

Kini kita patut bersyukur, karena hanya Soewara Moehammadiyah satu-satunya media yang sezaman dengannya yang masih eksis dan terbit berkesinambungan hingga hari ini

Dan memasuki abad ke II ini, visi sebagai media inspiratif terus menjelma dalam denyut nadi gerak Soewara Moehammadiyah. Dikala gempuran era disrupsi dan revolusi teknologi yang begitu canggih, Soewara Moehammadiyah tetap mampu berselancar di tengah gelombang ombak yang tak henti-hentinya menghempas.

Kini, ia tidak hanya hadir sebagai media inspiratif dan pusat syiar pengetahuan bagi umat, tetapi Soewara Moehammadiyah menjelma dengan mentransformasikan dirinya sebagai pusat bisnis dalam wujud gerak dakwah dibidang ekonomi.

Memasuki awal abad Ke II, berbagai lini bisnis tumbuh dari rahim Soewara Moehammadiyah. Mulai dari bisnis penerbitan majalah & buku, Media Digital, batik, konveksi, ekspedisi, retail, property hingga ke perhotelan.

Visi jangka panjang pendirinya, dengan membangun fondasi Soewara Moehammadiyah sebagai media inspiratif, telah mengantarkan media ini tetap eksis dan memberi kiprah nyata bagi negeri ini. Semoga melalui Milad ke 108th ini, yang bertepatan dengan Milad atau 78th kemerdekaan Republik Indonesia, Soewara Moehammadiyah terus tanpa lelah mengembangkan peran dan kiprahnya, untuk menjadi sarana dakwah membangun kemandirian ekonomi dan kedaulatan bangsa.

Selamat Milad 108th
Suara Muhammadiyah
Teruslah Menginspirasi, Teruslah Menyinari Negeri

Deni Asy’ari, MA, Dt Marajo, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/ SM

Sumber tulisan: https://web.suaramuhammadiyah.id/2023/08/13/108th-menginspirasi/

Read More
      edit

Rabu, 10 Juli 2024

Published Juli 10, 2024 by with 0 comment

Ki Bagus Hadikusumo, Tokoh Muhammadiyah Pejuang Syari’at Islam



Beliau adalah sosok penting bagi Indonesia dan bagi Muhammadiyah. Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia ini dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta dengan nama R. Hidayat pada 11 Rabi’ul Akhir 1038 Hijriyah. Beliau adalah putra ketiga dari lima bersaudara Raden Haji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan agama Islam di Kraton Yogyakarta.

Seperti umumnya keluarga santri, Ki Bagus mulai memperoleh pendidikan agama dari orang tuanya dan beberapa Kiai di Kauman. Setelah tamat dari ‘Sekolah Ongko Loro’ (tiga tahun tingkat sekolah dasar), Ki Bagus belajar di Pesantren Wonokromo, Yogyakarta. Di Pesantren ini ia banyak mengkaji kitab-kitab fiqih dan tasawuf. Pada usia 20 tahun Ki Bagus menikah dengan Siti Fatmah (putri Raden Haji Suhud) dan memperoleh enam anak. Salah seorang di antaranya ialah Djarnawi Hadikusumo, yang kemudian menjadi tokoh Muhammadiyah dan pernah menjadi orang nomor satu di Parmusi. Setelah Fatmah meninggal, ia menikah lagi dengan seorang wanita pengusaha dari Yogyakarta bernama Mursilah. Pernikahan ini dikaruniai tiga orang anak. Ki Bagus kemudian menikah lagi dengan Siti Fatimah (juga seorang pengusaha) setelah istri keduanya meninggal. Dari istri ketiga ini ia memperoleh lima anak.

Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi orang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ulama Produktif dan Berani Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPMHoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua PP Muham¬madiyah (1942-1953).

Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati (1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercer¬min komitmennya terhadap etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam. Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi pergo¬lakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II.

Kendati Ki Bagus Hadikusuma menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta oleh KH Mas Mansur pada Kongres ke-26 tahun 1937 di Yogyakarta, ia tetap tidak bisa mengelak memenuhi panggilan tugas untuk menjadi Ketua PB Muhammadiyah ketika KH Mas Mansur dipaksa menjadi anggota pengurus Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) di Jakarta pada tahun 1942. 

Apalagi dalam situasi di bawah penjajahan Jepang, Muhammadiyah memerlukan tokoh kuat dan patriotik.

Pada masa pendudukan Jepang, Ki Bagus menentang “Sei Kerei” yang diwajibkan bagi sekolah-sekolah setiap pagi hari. Beliau berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal ganas dan kejam, untuk memerintahkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari. Ia merasa terpanggil untuk menyelamatkan generasi muda dari kesyirikan, maksudnya upacara tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah melalui debat yang sangat seru, menegangkan dan beresiko tinggi dengan pihak Jepang, akhirnya pemerintah Jepang memberi dispensasi khusus bagi sekolah Muhammadiyah untuk tidak melakukan upacara tersebut.

Islamisasi Dasar Negara Semasa menjadi pemimpin Muhammadiyah, Ki Bagus termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI. Peran beliau sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu dalam Muqaddimah UUD 1945 itu disetujui oleh semua anggota PPKI.

Ki Bagus Hadikusumo adalah salah satu tokoh yang cukup lantang meneriakkan syariah Islam. Beliau bahkan memberikan antitesis atas ‘Lima Prinsip Dasar’ yang kemudian dikenal dengan Pancasila yang diajukan oleh Sukarno-M. Yamin, dengan mengajukan pendapat bahwa ‘Islam Sebagai Dasar Negara.’ Bahkan, Ki Bagus lebih tegas lagi meminta kata-kata bagi pemeluk-pemeluknya ditiadakan, sehingga berbunyi: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.

Sumber: majalah tabligh online

Read More
      edit