Muhammadiyah berkiprah di Papua sejak lama, terutama melalui pendidikan, Salah satu jejak penting adalah munculnya varian Kristen-Muhammadiyah, mereka tetap Kristen tetapi mengasosiasikan diri dengan Muhammadiyah.
“Saya senang Bapak sebagai Pimpinan PP Muhammadiyah ada di Lembaga BRIN dan bisa dating ke Tanah Papua. Saya, walaupun orang Kristen, tapi warga Muhammadiyah, karena saya alumni STIKOM Muhammadiyah Jayapura (yang) sekarang (menjadi) Universitas Muhammadiyah Papua. (Engelbert Dimara, Dewan Adat Papua)
AHMAD NAJIB BURHANI
Kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa ini dalam hal pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat sudah cukup banyak dikaji dan ditulis. Namun demikian, kontribusi dari organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 terhadap pembangunan dan pencerahan di Indonesia Timur masih kurang terungkap. Karena itulah, untuk menyemarakkan Milad ke-110 dan juga dalam rangka muktamar ke-48 di Surakarta, 18-20 November 2022 ini, jejak dan peran Muhammadiyah di Tanah Papua perlu ditampilkan.
Salah satu jejak Muhammadiyah di Papua bisa dilihat di Desa Warmon Kokoda di Distrik Mayamuk, Sorong, Papua Barat. Desa ini dihuni sekitar 250 keluarga atau sekitar 1.000 penduduk dari suku Kokoda yang merupakan salah satu suku asli Papua. Hampir semua penduduk Muslim dan tergabung dalam organisasi Muhammadiyah.
Selama ini Muhammadiyah identik dengan masyarakat perkotaan dan disebut sebagai kelompok Islam modernis. Karena itu, melihat Muhammadiyah berada di pedesaan tentu bukanlah pemandangan yang biasa, terlebih lagi di Papua. Jangan membayangkan warga Muhammadiyah Kokoda ini seperti gambaran tentang orang Muhammadiyah di Jawa sebagaimana yang pernah ditulis Clifford Geertz (1960) sebagai “petty trades” (pedagang kecil) atau “Muslim bourgeois”.
Memang, warga Kokoda Muhammadiyah tidak lagi nomaden atau hidup berpindah-pindah. Mereka sudah memiliki rumah permanen yang layak, seperti perumahan sederhana di kota-kota sekitar Jakarta. Bahkan, di desa itu sudah didirikan sekolah dasar dan memiliki rumah baca. Namun mereka masih perlu banyak ditemani. Mereka masih belajar bertani, beternak, dan mencari ikan. Sebagian besar dari mereka sudah berpakaian, bahkan beberapa perempuan ada yang memakai jilbab. Namun anak-anak kecilnya ada yang masih bertelanjang ketika bermain.
Muhammadiyah hadir di Warmon Kokoda sekitar tahun 2006 dan membersamai mereka untuk bersekolah, hidup bersih, dan membantu mereka memiliki tanah dan rumah yang permanen. Kepala Dusun Kokoda, Syamsuddin Namugur, menyebut kampungnya sebagai satu-satunya “Kampung Muhammadiyah”. Ini bukan berarti tak ada non-Muslim di kampung itu. Ada juga pemeluk Kristen, namun jumlahnya kecil, dan yang lebih penting mereka hidup berdampingan sangat rukun dan ingin menjiwai ajaran KH Ahmad Dahlan yang berkemajuan dan toleran terhadap mereka yang berbeda keyakinan.
Kristen-Muhammadiyah
Jejak penting lain dari Muhammadiyah di Papua adalah munculnya varian Kristen-Muhammadiyah (Krismuha). Tema ini sudah menjadi kajian khusus dari buku Kristen-Muhammadiyah (2009) yang ditulis oleh Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, dan Fajar Riza Ul Haq, Ketua Dewan Direktur Maarif Institute. Namun tema ini perlu terus diangkat dan dikabarkan secara luas untuk menanamkan toleransi dan hidup harmonis dalam keragaman Indonesia.
Pesan yang dikirimkan Engelbert Dimara, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, menggambarkan tentang varian Krismuha ini. Perjumpaan saya dengan Engelbert tidaklah disengaja. Kami bertemu di acara kerja sama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) di Papua Barat terkait ekonomi hijau. Kami hanya berbincang sebentar dan kemudian bertukar nomor telefon. Malamnya, Engelbert mengirimkan pesan WhatsApp sangat bermakna dan penting dalam menggambarkan secara sederhana hubungan Islam-Kristen di Papua.
Papua secara umum adalah wilayah yang umat Islam merupakan minoritas dari sisi jumlah penduduk. Manokwari, Ibu Kota Papua Barat, merupakan “Kota Injil”. Dalam sejarahnya, dimulai dari Papua Barat inilah, tepatnya di Pulau Mansinam, misi Kristen dikumandangkan ke seluruh pelosok Tanah Papua. Dua misionaris yang datang pertama kali ke Papua berasal dari Jerman, yaitu Karl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. Mereka menginjakkan kaki pertama di sana untuk mengabarkan Injil pada 5 Februari 1855.
Jejak penting lain dari Muhammadiyah di Papua adalah munculnya varian Kristen-Muhammadiyah (Krismuha).
Meski Papua adalah wilayah Kristen, namun terdapat sejumlah sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah di sana, antara lain Universitas Muhammadiyah Sorong, Universitas Pendidikan Muhammadiyah (Unimuda) Sorong, STKIP Muhammadiyah Manokwari, dan Universitas Muhammadiyah Papua. Menariknya, kampus-kampus ini mahasiswanya tidaklah beragama Islam. Unimuda, misalnya, sekitar 75 persen mahasiswanya adalah non-Muslim. UM Sorong memiliki lebih dari 50 persen mahasiswa non-Muslim. Sementara di UM Papua, seperti dituturkan Engelbert, lebih dari 90 persen mahasiswanya adalah non-Muslim, dan dari pegunungan Papua.
Keberadaan lembaga-lembaga itu tidaklah dimaksudkan sebagai sarana Islamisasi atau mengajak para mahasiswa berpindah agama. Justru, seperti ditulis di buku Kristen-Muhammadiyah, ada upaya agar jangan sampai mahasiswa berpindah agama karena ini akan menjatuhkan kredibilitas dan misi kampus itu sebagai tempat mendidik. Orang semisal Engelbert Dimara itulah salah salah satu produk dari kampus-kampus Muhammadiyah di Papua. Mereka yang Kristen tetaplah Kristen, tidak berpindah menjadi Islam. Tetapi mereka mengasosiasikan diri dengan Muhammadiyah. Jadilah mereka masuk dalam varian Krismuha itu.
Misi Pencerahan
Muhammadiyah tentu saja adalah sebuah organisasi Islam yang dalam sejarahnya, menurut Alwi Shihab dalam Membendung Arus (1998), berperan untuk menahan laju missionaris Kristen di Indonesia. Seiring perkembangan zaman, Muhammadiyah kini lebih menekankan sebagai gerakan pencerahan dengan slogan “Islam Berkemajuan”. Sebuah semangat Islam substantif yang sebetulnya sangat diajarkan olah KH Ahmad Dahlan.
Pencerahan itu ditujukan ke seluruh umat manusia melalui pendidikan dan amal-usahanya yang lain, tanpa melihat latar belakang agama dari mereka yang menerimanya. Itulah yang dilakukan kampus-kampus Muhammadiyah di Papua. Bahkan, Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah telah menyusun kurikulum Al-Islam dan kemuhammadiyahan untuk daerah-daerah seperti Papua yang tidak bersifat doktriner dan normatif, sehingga tetap menjaga inklusivitas kepada non-Muslim.
Dengan Muktamar di Solo kali ini, semoga semangat Islam yang inklusif, semangat pencerahan kepada semua manusia tanpa pandang agama dan kepercayaan, semangat berkemajuan terus menyala dan semakin terang di Muhammadiyah. Selamat dan sukses bermuktamar!
18 November 2022
Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
disadur dari : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/17/muhammadiyah-di-papua